Penerapan Knowledge Manajemen Di Perpustakaan Perguruan Tinggi

I. PENDAHULUAN
Alvin Toffler membagi sejarah peradapan manusia dalam tiga gelombang yaitu era pertanian, era industry dan era informasi. Dalam era pertanian faktor yang paling menonjol adalah otot (muscle) karena pada saat itu produktivitas ditentukan oleh otot. Dalam era industry, faktor yang menonjol adalah mesin (Machine), dan pada era informasi faktor yang menonjol adalah pikiran., pengetahuan (Mind). Pengetahuan sebagai modal intelektual mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kemajuan suatu organisasi. Pada era informasi memunculkan karateristik masyarakat penting dan menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi setiap orang. Bagi masyarakat informasi banyak aspek kehidupan sangat bergantung kepada informasi. Tanpa informasi, kehidupan masyarakat informasi tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dan didalam melakukan setiap kegiatannya, masyarakat informasi akan selalu membutuhkan informasi dan semakin menuntut informasi yang cepat, aktual, akurat dan relevan.
Informasi tersebut senantiasa mengisi segala aspek kehidupan, mulai dari lingkup keluarga, sosial, hingga lingkup kelompok dan organisasi. Begitu pula bagi suatu organisasi, apapun jenis organisasinya, informasi orang-orang didalam suatu organisasi memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sehingga informasi menjadi penuntun bagi siapapun saat melakukan aktivitas keorganisasian. Dari sinilah kemudian muncul apa yang dinamakan pengetahuan.
Pengetahuan dari organisasi dapat menjadikan organisasi tersebut memahami tujuan keberadaannya. Diantara tujuan yang terpenting adalah bagaimana organisasi memahami cara mencapai tujuannya. Organisasi-organisasi yang sukses, adalah yang secara konsisten menciptakan pengetahuan baru dan menyebarkannya secara menyeluruh didalam organisasinya dan secara cepat mengadaptasinya kedalam teknologi dan produk serta layanan mereka. Melihat perannya yang begitu penting bagi suatu organisasi, maka semua pengetahuan yang dimiliki oleh suatu organisasi harus dikelola dengan baik, sehingga pengetahuan tersebut dapat berperan optimal untuk organisasinya.
Bentuk dan kemampuan organisasi dalam mengelola pengetahuan sangat memperngaruhi kualitas kualitas hubungan atau integrasi diantara komponen-komponennya. Banyak organisasi yang telah menjadikan manajemen pengetahuan (Knowledge Management) sebagai salah satu strategi untuk menciptakan nilai, meningkatkan efektivitas dan produktivitas organisasi, serta keunggulan kompetitif organisasi. Mereka mulai menerapkan manajemen pengetahuan dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan daya tahan organisasi mereka. Dalam lingkungan yang sangat cepat berubah, pengetahuan akan mengalami keusangan oleh sebab itu perlu secara terus menerus diperbaharui melalui proses pembelajaran.
Knowledge Management
Sejak awal tahun 90-an para pakar seperti Alvin Toffler (1990), Robert Reich (1991), James Brian Quinn (1992), dan Peter Drucker (1993) menekankan tentang pentingnya pengetahuan (knowledge) dalam masyarakat dan perekonomian (society and economy) di akhir abad ke-20 dan pada abad ke-21. Menurut Drucker, di era ‘knowledge society’, pengetahuan bukan semata sebagai salah satu sumberdaya (a resource) bersama faktor-faktor produksi tradisional lain seperti buruh, tanah, dan modal, melainkan satu-satunya sumber daya (the only resource).
Konsep pemberdayaan pengetahuan (knowledge enabler) pada hakikatnya adalah merupakan praktek pada konsep manajemen pengetahuan (knowledge manajemen). Konsep manajemen pengetahuan berasal dan berkembang di dunia bisnis, diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki pengoperasian perusahaan dalam rangka meraih keuntungan kompetitif dan meningkatkan laba. Manajemen pengetahuan digunakan untuk memperbaiki komunikasi diantara manajemen puncak dan diantara para pekerja untuk memperbaiki proses kerja, menanamkan budaya berbagai pengetahuan dan untuk mempromosikan dan mengimplementasikan sistem penghargaan berbasis kinerja.
Menurut Gilbert Probst (2001, p.24) dalam bukunya Managing Knowledge Building Block for Success mengemukakan bahwa knowledge adalah keseluruhan bagian dari pengetahuan yang ada dan keterampilan individu yang digunakan untuk memecahkan masalah. Knowledge tersebut terbagi dalam teori dan praktek yang pada umumnya berupa aturan dan petunjuk untuk mengambil keputusan. Knowledge bergantung pada data dan informasi yang dimiliki oleh suatu personal yang merefleksikan tentang suatu pendapat.
Menurut Garner Group (Koina, 2004), manajemen pengetahuan adalah suatu disiplin yang mempromosikan suatu pendekatan terintegrasi terhadap pengidentifikasian, pengelolaan dan pendistribusian semua asset informasi suatu organisasi. Selanjutnya disebutkan bahwa informasi yang dimaksud meliputi database, dokumen, kebijakan, dan prosedur dan juga keahlian dan pengalaman yang sebelumnya tidak terartikulasi yang terdapat pada pekerja perorangan.
Menurut Laudon (2002:372-3) manajemen pengetahuan berfungsi meningkatkan kemampuan organisasi untuk belajar dari lingkungannya dan menggabungkan pengetahuan ke dalam proses bisnis. Manajemen pengetahuan adalah serangkaian proses yang dikembangkan dalam suatu organisasi untuk menciptakan, mengumpulkan, memelihara dan mendiseminasikan pengetahuan organisasi tersebut.
Amrit Tiwana (1999) mendefinisikan knowledge management secara luas dalam arti memanajemeni pengetahuan sebagai “ management of organizational knowledge for creating business value and generating a competitive advantage.” KM memberikan kemampuan untuk mencipta, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan yang diperlukan dan berguna bagi pencapaian semua jenis tujuan bisnis. Menurut Amrit Tiwana “Knowledge management is the ability to create and retain greater value from core business competencies.” KM menyelesaikan masalah bisnis partikular mencakup penciptaan dan penyebaran barang atau jasa inovatif, mengelola dan memperbaiki hubungan dengan para pelanggan, mitra dan pemasok; juga mengadministrasi serta meningkatkan praktek dan proses kerja.
Dalam buku yang ditulis oleh Von Krough, Ichiyo, serta Nonaka (2000), dan Chun Wei Choo, (1998), disampaikan ringkasan gagasan yang mendasari pengertian knowledge adalah sebagai berikut:
(1). Knowledge merupakan kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan (justified true believe);
(2). Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terpikirkan (tacit);
(3). Penciptaan inovasi secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut
(4). Penciptaan inovasi.
Menurut Malhotra (1997), knowledge management merupakan isu penting mengenai adopsi organisasi, kelangsungan hidup, dan kompetensi organisasi untuk menghadapi peningkatan perubahan lingkungan yang terputus. Intinya, knowledge management merupakan proses organisasi dalam mencari kombinasi sinergi data dan informasi dari kapasitas produksi informasi teknologi, kapasitas kreativitas serta inovasi manusia.
Davenport dan Prusak (1998) memberikan metode mengubah informasi menjadi pengetahuan melalui kegiatan yang dimulai dengan huruf C : comparation, consequences, connections dan conversation.(Definisi/Pengertian Pengetahuan menurut Davenport dan Prusak adalah knowledge is a fluid mix of framed experience, values, contextual information, and expert insight that provides a framework for evaluating and incorporating new experiences and information. It originates and is applied in the minds of knowers. In organizations, it often becomes embedded not only in documents or repositories but also in organizational routines, processes, practices and norms).
Jenis Pengetahuan
Dilihat dari jenisnya, ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan explicit dan pengetahuan tacit. Seperti yang dikemukan oleh Polanyi (1967) bahwa pengetahuan juga bisa dibagi menurut pengetahuan tacit dan explicit.

Tacit
– Tersimpan dalam pikiran manusia, sulit diformulasikan (misalnya keahlian seseorang)
– Penting untuk kreatifitas dan inovasi
– Dikonversikan ke eksplisit dengan eksternalisasi
– Misalnya pengalaman bertahun-tahun yang dimiliki oleh ahli
Explisit
– Dapat dikodifikasi/formulasi
– Dikonversikan ke tacit dengan pemahaman dan penyerapan
– Misalnya dokumen, database, materi audio visual dll
Pengetahuan eksplisit dapat diungkapkan dengan kata-kata dan angka, disebarkan dalam bentuk data, rumus, spesifikasi, dan manual. Pengetahuan tacit sifatnya sangat personal, sulit diformulasikan sehingga sulit dikomunikasikan dan disebarkan kepada orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa Explicit Knowledge merupakan bentuk pengetahuan yang sudah terdokumentasi/terformalisasi, mudah disimpan, diperbanyak, disebarluaskan dan dipelajari. Contoh manual, buku, laporan, dokumen, surat, file-file elektronik, dsb. Sedangkan Tacit Knowledge, merupakan bentuk pengetahuan yang masih tersimpan dalam pikiran manusia. Misalnya gagasan, persepsi, cara berpikir, wawasan, keahlian/kemahiran, dan sebagainya.
Menurut Polanyi, selalu ada pengetahuan yang akan tetap tacit, sehingga proses menjadi tahu (knowing) sama pentingnya dengan pengetahuan itu sendiri. Selain itu, ada pandangan yang menganggap bahwa semua pembelajaran terjadi di dalam kepala manusia, sebuah organisasi belajar melalui dua cara saja :
(a) Dengan kegiatan belajar anggota – anggotanya
(b) Dengan menyerap anggota baru yang memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki organisasi itu (Simon, 1991: 126).
Sedangkan menurut Moran dan Goshal (1996), pengetahuan diciptakan melalui dua cara, yaitu : penggabungan (kombinasi) dan pertukaran. Dalam situasi di mana pengetahuan dimiliki oleh pihak – pihak yang berbeda, maka pertukaran merupakan prasyarat bagi penggabungan pengetahuan. Modal intelektual pada umumnya diciptakan melalui proses penggabungan pengetahuan dari pihak berbeda, oleh karena itu, modal ini tergantung kepada pertukaran antar pihak yang terlibat. Kadang – kadang pertukaran ini melibatkan perpindahan pengetahuan explicit, baik yang dimiliki secara individual maupun kolektif. Pengetahuan dari suatu organisasi dapat menjadikan organisasi tersebut memahami tujuan keberadaannya. Diantara tujuan yang terpenting adalah bagaimana organisasi memahami cara mencapai tujuannya. Organisasi-organisasi yang sukses, adalah organisasi yang secara konsisten menciptakan pengetahuan baru dan menyebarkannya secara menyeluruh didalam organisasinya, dan secara cepat mengadaptasinya kedalam teknologi dan produk serta layanan mereka.
Di sisi lain, I Made Wiryana dan Ernianti Hasibuan (2002) memiliki pandangan lain tentang pengetahuan. Mereka mengelompokkan knowledge (pengetahuan) menjadi 3 jenis yaitu :
1. Tacit knowledge
Pada dasarnya suatu informasi akan menjadi tacit knowledge ketika diproses oleh pikiran seseorang. Knowledge jenis ini biasanya belum dikodifikasikan atau disusun dalam bentuk tertulis. Dalam knowledge ini termasuk intuisi, cognitive knowledge. Tacit knowledge seperti intuisi, dan pandangan biasanya sangat sulit untuk dikodifikasikan. Biasanya pengetahuan ini terkumpul melalui pengalaman sehari-hari pada pelaksanaan suatu pekerjaan. Pengetahuan jenis ini akan menjadi explicit knowledge ketika dikomunikasikan kepada pihak lain dengan format yang tepat (tertulis, grafik dan lain sebagainya).
2. Explicit Knowledge
Pengetahuan yang telah dikodifikasi atau dieksplisitkan. Jadi biasanya telah direpresentasikan dalam suatu bentuk yang tertulis dan terstruktur pengetahuan jenis ini jelas lebih mudah direkam, dikelola dan dimanfaatkan serta ditransfer ke pihak lain.
3. Shared Knowledge
Explicit knowledge yang digunakan bersama-sama pada suatu komunitas. Dalam suatu komunitas, agar terjadi akselerasi dalam wilayah pembahasan pengetahuan itu sendiri, maka biasanya tacit knowledge akan ditransformasikan menjadi explicit knowledge. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat tulisan, laporan dan lain sebagainya. Memang tidak semua tacit knowledge dapat diubah menjadi explicit knowledge. Pada tahapan berikutnya agar dapat dimanfaatkan oleh komunitas, ataupun agar dapat dilakukannya peer-review untuk perbaikan, pengetahuan itu sendiri akan dicoba ditransformasikan sebagai suatu bentuk shared knowledge yang dapat digunakan bersama-sama oleh anggota komunitas.
Hal ini misal dilakukan melalui media publikasi. Proses penciptaan pengetahuan adalah proses spiral yang merupakan interaksi antara pengetahuan tacit dan eksplisit. Interaksi dari pengetahuan inimenghasilkan pengetahuan baru. Ada empat langkah penciptaan pengetahuan :
1. Socialization
Sosialisasi meliputi kegiatan berbagi pengetahuan tacit antar individu. Istilah sosialisasi digunakan, karena pengetahuan tacit disebarkan melalui kegiatan bersama – seperti tinggal bersama, meluangkan waktu bersama – bukan melalui tulisan atau instruksi verbal. Dengan demikian, dalam kasus tertentu pengetahuan tacit hanya bisa disebarkan jika seseorang merasa bebas untuk menjadi seseorang yang lebih besar yang memiliki pengetahuan tacit dari orang lain.
2. Externalization
Eksternalisasi membutuhkan penyajian pengetahuan tacit ke dalam bentuk yang lebih umum sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Pada tahap eksternalisasi ini, individu memiliki komitmen terhadap sebuah kelompok dan menjadi satu dengan kelompok tersebut. Dalam prakteknya, eksternalisasi didukung oleh dua faktor kunci. Pertama, artikulasi pengetahuan tacit yaitu konversi dari tacit ke eksplisit – seperti dalam dialog. Kedua, menerjemahkan pengetahuan tacit dari para ahli ke dalam bentuk yang dapat dipahami, missal dokumen, manual, dsb.
3. Combination
Kombinasi meliputi konversi pengetahuan eksplisit ke dalam bentuk himpunan pengetahuan eksplisit yang lebih kompleks. Dalam prakteknya, fase kombinasi tergantung pada tiga proses berikut: Pertama, penangkapan dan integrasi pengetahuan eksplisit baru – termasuk pengumpulan data eksternal dari dalam atau luar institusi kemudian mengkombinasikan data – data tersebut. Kedua, penyebarluasan pengetahuan eksplisit tersebut melalui presentasi atau pertemuan langsung. Ketiga, pengolahan pengetahuan eksplisit sehingga lebih mudah dimanfaatkan kembali – misal menjadi dokumen rencana, laporan, data pasar, dsb.
4. Internalization
Internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi dari pengetahuan eksplisit ke dalam pengetahuan tacit organisasi. Individu harus mengidentifikasi pengetahuan yang relevan dengan kebutuhannya di dalam organizational knowledge tersebut. Dalam prakteknya, internalisasi dapat dilakukan dalam dua dimensi. Pertama, penerapan pengetahuan eksplisit dalam tindakan dan praktek langsung. Contoh melalui program pelatihan. Kedua, penguasaan pengetahuan
eksplisit melalui simulasi, eksperimen, atau belajar sambil bekerja.
Pada akhirnya, siklus manajemen pengetahuan tidak lengkap juga tidak berhasil jika tidak ada usaha yang dibuat untuk memastikan penggunaan pengetahuan yang telah disimpan dan dibagikan. Di sisi lain, kesuksesan proyek Information Management dicapai ketika pemeliharaan dan pencarian informasi dijamin sementara kesuksesan program Knowledge Management pada akhirnya bergantung pada sharing (berbagi) pengetahuan (Martensson, 2000)
Ada kendala-kendala yang dihadapi sebelum akhirnya dapat memanfaatkan dan menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru, yaitu kendala dalam mengakses, mengorganisasikan, dan menangkap pengetahuan. Selain kendala dari dimensi proses tersebut, juga ada kendala dari dimensi budaya. Sebelum terciptanya suasana yang mendorong inovasi (innovate), diperlukan suasana yang mendorong dilakukannya berbagi (share) pengetahuan dan bekerja sama (collaborate).
Aplikasi Teknologi Informasi pada Manajemen Pengetahuan
Aplikasi teknologi yang memadai dapat memungkinkan teknologi menjadi hak milik yang strategik. Penggunaan teknologi informasi sebagai suatu aset yang strategik dalam mendesign dan mengelola organisasi dapat membuat organisasi lebih responsif, fleksibel dan efisien atau bahkan organisasi dalam posisi ofensif. Namun demikian aplikasi ini tidaklah selalu berhasil. Kesalahan dalam implikasi dan konsep dapat menyebabkan kegagalan dalam mengadopsi teknologi informasi. Masalah yang berkaitan dengan perencanaan dan implementasi teknologi informasi seharusnya mendapatkan perhatian yang serius oleh manajemen, hal ini ditujukan untuk memperoleh informasi dalam waktu singkat. Teknologi informasi adalah “teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi, serta percepatan arus informasi ini tidak mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu”. (J.B. Wahyudi, 1990).
Perkembangan teknologi informasi memainkan peranan amat penting dalam perkembangan konsep manajemen pengetahuan. Dalam catatan Beckman (1999, h.1.2), peristiwa penting yang menandai tonggak perkembangan manajemen pengetahuan adalah ketika di tahun 1980 organisasi DEC (Digital Equipment Corporation) dan Universitas Carnagie mellon mengembangkan sistem pakar untuk menetapkan konfigurasi perangkat keras komputer. Sejak itu banyak penelitian yang menuju pada pemanfaatan teknologi untuk memanfaatkan pengetahuan yang tersimpan di kepala manusia. Namun baru enam tahun kemudian istilah “manajemen pengetahuan” diperkenalkan secara formal oleh Dr. Karl Wiig dalam sebuah pidatonya di konferensi ILO (badan buruh PBB).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam penerapan manajemen pengetahuan dapat didukung dengan teknologi informasi. Oleh karena itu, komponen selanjutnya dalam penerapan manajemen pengetahuan ini adalah teknologi; dalam hal ini berkaitan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi (TI). Istilah Teknologi Informasi merupakan gabungan dua istilah dasar yaitu teknologi dan informasi. Teknologi dapat diartikan sebagai pelaksanaan ilmu, sinonim dengan ilmu terapan. Bila kita dengan mudah dapat menemukan batasan teknologi, tidaklah demikian halnya dengan batasan informasi. Hampir dapat dipastikan bahwa hampir semua kamus memberikan batasan yang berbeda tentang informasi. Oleh karena itu, secara umum informasi merupakan sesuatu arti yang diungkapkan oleh manusia atau oleh ekstrak dari fakta dan sama dengan cara konvensi yang diketahui dari representasi yang digunakan.
Kemajuan teknologi sangat mempengaruhi banyak aspek dalam manajemen, struktur, dan aktifitas tugas dalam organisasi. Dalam banyak industri, teknologi informasi telah memungkinkan organisasi dalam mentransformasikan secara besar-besaran berbagai aspek operasional organisasi yang membentuk value chain. Mengaplikasikan teknologi dalam produk, computer-aided design and manufacturing (CAD/CAM), otomatisasi pabrik dan logistik, menyebabkan kualitas kinerja lebih baik, dan penurunan biaya yang cukup signifikan telah mengubah standar kompetisi industri dalam memproduksi barang dan jasa. Rockart (1988) menyatakan bahwa TI merupakan senjata strategik, dan mamanfaatkan TI menjadi amat penting.
Suadi (1993) dan juga Sudibyo (1992) menyatakan bahwa dampak teknologi informasi terhadap organisasi, pengguna, dan manusia pendukungnya antara lain adalah meningkatkan efisiensi operasi, mendukung inisiatif strategis, memperluas batas organisasional, mengubah pola kerja, mengubah persyaratan kemampuan individu dalam organisasi, mengubah sifat pengawasan, meningkatkan daya saing, dan mengusahakan platform budaya yang sesuai. Perkembangan dan pengaruh teknologi informasi terhadap organisasi telah mendorong organisasi untuk dapat mengaplikasikan teknologi tersebut, dengan tujuan agar organisasi lebih dapat memperbaiki kinerja, daya tahan dan respon organisasi. Namun demikian tidak ada jaminan keberhasilan dengan aplikasi ini (McFarlan, 1990). Penggunaan teknologi informasi menuntut suatu perencanaan yang memadai yang menjamin tujuan strategis dan menuntut adanya perubahan organisasi yang memungkinkan integrasi sitem.
Teknologi informasi dapat digunakan untuk mengkoordinasi secara efektif diantara unit bisnis. Pengaplikasian teknologi informasi untuk mengkoordinasi diantara unit bisnis di dalam organisasi besar dapat meningkatkan corporate portofolio management. Adapun tujuan strategik koordinasi tersebut yaitu memperbaiki sinergi diantara unit bisnis, sehingga mengakibatkan total produktivitas dan keuntungan bagi setiap unit bisnis bertambah besar. Ketiga, batas organisasi. Teknologi informasi dapat memberi kemudahan dalam memperbaiki pemrosesan transaksi antar organisasi dan mendukung negosiasi dan partnership antar organisasi, menghubungkan dengan suppliers, customers dan bahkan rekanan organisasi. Dengan menyediakan jasa pemrosesan data, pelaporan dan transaksi ke customers dan suppliers, suatu organisasi menjadi “electronically bound” bagi mereka. Aplikasi ini meliputi konsep just in time. Tenologi informasi yang baru juga membantu aliansi strategis diantara organisasi, yang memudahkan joint marketing campaigns diadakan oleh organisasi dalam industri yang berbeda (McFarlan, 1990). Keempat, produk baru. Organisasi yang memiliki slack dalam kemampuan sistem informasinya (manusia dan mesin) dikenalkan organisasi baru dengan menjual kelebihan kemampuan pemrosesan dan informasi. Skala ekonomi dalam sistem informasi dan nilai kerusakan secara cepat dari informasi memotivasi jenis ini untuk diversifikasi. Sebagai contoh, JC Penney dan Sears menyediakan pemrosesan kartu kredit bagi organisasi lainnya.
Aplikasi dalam bidang yang lain adalah dalam desain organisasi. Dalam bidang ini, teknologi informasi mampu mengubah atau menciptakan struktur organisasi baru dan proses manajemen yang lebih responsif, fleksibel dan efisien. Dalam penentuan suatu pabrik, teknologi dapat digunakan dalam pengendalian yang lebih formal atas pekerjaan unit desentralisasi melalui implementasi prosedur pengecualian.
Knowledge Management dalam Perpustakaan Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah tempat kumpulan orang berinteraksi dan bersinergi untuk menimba, berbagi, menerapkan dan mengembangkan ilmu. Keseluruhan aktivitas ini berkaitan dan diperlukan untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Kegiatan tersebut dikenal sebagai Tridharma perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Sengaja pengabdian pada masyarakat dimasukkan juga disini, karena kegiatan ini pun diperlukan untuk menguji dan memberi masukan pada pengembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan, disamping fungsinya untuk menjembatani perguruan tinggi dengan masyarakat.
Dalam melakukan kegiatannya tersebut, civitas academica perguruan tinggi beroperasi di dalam lingkungan internal dan eksternal, mikro dan makro. Yang akan disorot disini adalah kemajuan pesar ICT atau TKI (Teknologi Komunikasi dan Informasi) dan budaya materialism. Alasannya TKI (termasuk didalamnya fasilitas internet) mempercepat siklus pengetahuan lintas dan multi disiplin. Sementara itu sedikit banyak mempengaruhi secara negarif kegiatan dan mutu perkembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi.
Sebuah perguruan tinggi harus menyadari bahwa informasi bukan lagi hanya milik dosen atau salah satu atau dua orang ahli atau perpustakaan. Dosen bukan satu-satunya sumber informasi bagi mahasiswanya. Dosen pun bisa kewalahan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran yang berpusat pada dosen menjadi tidak sesuai lagi dengan zaman. Mahasiswa harus diberi peluang untuk memainkan peranan lebih aktif dalam dalam proses pembelajaran, termasuk dalam menentukan sumber-sumber informasinya dan mengemukakan pendapatnya. Pembelajaran secara kolaboratif juga perlu digalakkan. Dengan cara inilah, mahasiswa yang mencernakan sumber informasi yang berbeda-beda bisa saling berbagi pengetahuan dan memperkaya diri.
Karena itulah maka diperguruan tinggi mulai dipraktekkan student Centered learning, resource-based learning, problem-based learning, collaborative learning, constructive learning, competence based curriculum. Persamaan dari semua istilah ini adalah bahwa fokusnya ke pembelajaran dan peranan dosen dalam hal ini lebih sebagai fasilitator yang memfasilitasi mahasiswa untuk belajar secara kolaboratif dan aktif dengan menggunakan banyak sumber, termasuk yang terdapat di luar fakultasnya dan/atau diluar bidang ilmu yang sedang digeluti.
Peranan Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam Siklus Pengetahuan
Menanggapi perkembangan tersebut, perpustakaan perguruan tinggi mau tidak mau harus berubah, kalau tidak akan ditinggalkan oleh penggunanya. Perpustakaan perguruan tinggi harus memainkan peranan aktif dan penting dalam siklus pengetahuan civitas academica, yaitu :
0. Memperluas cakupan kegiatannya dari manajemen informasi menjadi manajemen pengetahuan
0. Lebih berfokus pada penawaran keahlian untuk memperlengkapi pengguna agar dapat belajar terus-menerus, daripada penawaran akses informasi.
1. Manajemen Pengetahuan
Manajemen pengetahuan meliputi keseluruhan siklus pengetahuan, yaitu mulai dari penciptaan, perekaman dan organisasi, penyebaran, akses dan pengunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan kembali pengetahuan, dan seterusnya. Selama ini perpustakaan lebih banyak berfokus pada penyediaan akses dan penyebaran informasi. Disamping itu, perpustakaan selama ini lebih memperhatikan pengetahuan yang sudah terekam di luar pikiran penciptanya. Padahal banyak pengetahuan yang masih dalam kepala orang (dan belum pernah direkam dalam sumber-sumber informasi yang umumnya dikelola oleh perpustakaan selama ini).
Untuk dapat berpartisipasi aktif dalam siklus pengetahuan, dan mengelola pengetahuan yang explicit maupun tacit, perpustakaan harus menjadi mitra bagi pengguna, menjadikan pengguna sebagai mitra, dan melayani mereka sebagai anggota jaringan. Disamping itu, perpustakaan harus menyediakan fasilitas yang memudahkan terjadinya keseluruhan proses pengetahuan. Dengan demikian, perpustakaan bisa membantu, para pengguna berkolaborasi menjadi manajer-manajer pengetahuan.
@. Menjadi Mitra Bagi Pengguna
Pengguna perpustakaan perguruan tinggi adalah orang-orang yang tugasnya mengajar, belajar dan melakukan penelitian. Untuk itu mereka harus membuat rancangan, pembelajaran suatu matakuliah, membuat bahan ajar, memberikan pada mahasiswa; membuat rancangan penelitian, mengembangkan alat penelitian, mengumpulkan data, menulis laporan penelitian; belajar membuat tugas kuliah; mencari sponsor penelitian, sponsor kuliah; dan lain sebagainya. Pustakawan harus menjadi mitra mereka dalam tugas-tugas tersebut. Bruce (2001) mengelompokkan kemitraan antara pustakawan dan dosen ke dalam empat bidang, yaitu kebijakan, penelitian, kurikulum, supervise tingkat tinggi, dan pengembangan akademik.
Menjadi Mitra artinya, pustakawan harus turut mengambil bagian yang penting dalam kegiatan tesebut. Dengan demikian, pustakawan bukan sekedar mencarikan informasi dan member bantuan teknis demi peningkatan mutu kegiatan yang bersangkutan dan juga mutu perguruan tinggi.
Ada tiga alasan untuk menjadikan pustakawan sebagai mitra bagi pengguna perpustakaan. Karena posisinya dipusat ilmu (bukanlah perpustakaan merupakan tempat pengetahuan disegala bidang ilmu terkumpul), pustakawan secara relatif mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk melihat secara lintas unit dan lintas disiplin. Menjadi mitra, pustakawan akan memperoleh banyak kesempatan untuk melakukan cross-breending maupun multi inter-disiplin. Pengalaman ini juga akan meningkatkan mutu pustakawan yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi penguna.
Untuk dapat menjadi mitra, pustakawan harus menunjukkan kemampuan akademik yang sekurang-kurangnya sama dengan (tetapi sebaiknya lebih dari) dosen dan peneliti, apalagi mahasiswa. Kalau tidak, bagaimana mereka mau mempercayai pustakawan untuk dijadikan sebagai mitra. Bukan hanya itu, alasan yang utama adalah karena penanganan informasi ilmiah adalah jauh lebih dari sekedar stamping books, dan memang mutlak memerlukan penanganan orang-orang yang mempunyai kemampuan akademik. Pustakawan harus minimum S1, mempunyai latar belakang ilmu lain disamping keperpustakaan, mempunyai kemampuan dan pengalaman meneliti dan menulis ilmiah, mengerti kurikulum dan penelitian dari perspektif intra-maupun inter-disiplin, maupun memanfaatkan ICT lebih dari pengguna, mempunyai publikasi diluar bidang keperpustakaan, dan lain sebagainya.
@. Menjadikan Pengguna Mitra dalam Pekerjaan Perpustakaan
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari karateristik pengguna perpustakaan perguruan tinggi yang adalah konsumen sekaligus produsen informasi ilmiah. Untuk karateristik pengguna seperti ini, sistem yang sesuai (efektif dan ekonomis) adalah sifatnya, “Dari Anda untuk Anda”. Apalagi setiap mereka adalah bagian dari jaringan yang mungkin berbeda-beda. Kalau mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan perpustakaan memfasilitasi proses pengetahuan, perpustakaan akan menjadi sistem lemah (miskin) dan out of touch.
@. Melayani Individu atau Kelompok Sebagai Anggota Jaringan
Kemajuan ICT memudahkan dan mendorong terjadinya kolaborasi diantara orang-orang dan kelompok-kelompok yang tidak saling kenal dan dipisahkan oleh jarak dan waktu. Karena itu, supaya efektif dan efisien, perpustakaan harus memandang pengguna dan membantu mereka melakukan pengelolaan pengetahuannya dalam konteks jaringan. Konsekuensinya, perpustakaan perlu menyediakan fasilitas untuk mereka terhubung, berbagi pengetahuan dan berkolaborasi, dengan orang-orang di dalam dan luar kelompoknya.
@. Fasilitas Manajemen Pengetahuan
Dibandingkan dengan internet, fasilitas perpustakaan perguruan tinggi yang ada saat ini masih jauh dari memadai untuk menghadapi tantangan tersebut diatas. Dengan fasilitas yang demikian, perpustakaan tidak bisa berperan penting. Perpustakaan bahkan akan cenderung diabaikan.
Untuk menjalankan fungsi baru tersebut diatas, perpustakaan perlu mengembangakan
fasilitas yang lebih baik dari sekedar perpustakaan digital, yaitu perpustakaan digital dengan fasilitas untuk :
1. Menghubungkan orang-orang yang bekerja dengan topic yang sama atau serupa. Untuk itu perlu dibuat fasilitas penghubung dengan para ahli yang ada didalam dan luar kampus, database ahli, dan fasilitas diskusi melalui milis, dan konsultasi on-line atau lewat e-mail.
2. Menghubungkan orang dengan informasi, yang terdapat di dalam dan luar kampus. Disamping pangkalan data local, perpustakaan juga harus menyediakan links dengan sumber-sumber di luar.
3. Merekam (capture) jalannya dan hasil pertemuan (termasuk rapat, seminar, kuliah dan sebagainya)
4. Mempublikasikan dalam berbagai format (untuk ini diperlukan software untuk video editing, web development, dan lain sebagainya)
5. Meng’upload’ file multiformat bahkan sejak draft pertama, dan mendiskusikan karya yang di’upload’ tersebut.
6. Membuat perpustakaan digital pribadi, yaitu dengan fasilitas untuk membuat link dengan sumber-sumber di dalam dan luar perpustakaan menurut kata-kata kunci dan hubungan antar kata kunci tersebut, yang ditentukan oleh pengguna sendiri.
7. Membuat modul-modul untuk training literacy skills secara on-line maupun off-line
Fasilitas-fasilitas tersebut sebaiknya juga terintegrasi dengan modul kurikulum atau course management. Dengan demikian, perpustakaan menjadi terintegrasi dengan kegiatan penggunanya. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan, kepuasan, dan kepercayaan pengguna dan akan perpustakaan serta kemitraan diantara mereka.
2. Keahlian Melek Informasi dalam Konteks Manajemen Pengetahuan
Seperti telah disebutkan diatas, kemajuan TKI dan ledakan informasi membuat pengguna kewalahan menghadapinya. Untuk mengatasi ini, pengguna perlu diperlengkapi dengan keterampilan informasi (Information Literacy) dalam konteks siklus pengetahuan. Information Literacy juga merupakan prasyarat untuk penciptaan pengetahuan baru.
Melek informasi (information literacy) adalah serangkaian kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan kapan informasi dibutuhkan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang dibutuhkan, memanfaatkannya secara etis, dan mengkomunikasikannya secara efektif. Kemampuan ini juga meliputi keterampilan TKI. Secara rinci, melek informasi meliputi kemampuan untuk :
@. Mengetahui kapan informasi dibutuhkan
@. Menyadari informasi yang dibutuhkan
@. Mengidentifikasi sumber informasi
@. Menemukan lokasi informasi secara efektif dan efisien
@. Mengakses informasi secara efektif dan efisien
@. Mengevaluasi informasi secara kritis
@. Mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi kedalam pengetahuan yang ada
@. Menggunakan informasi secara etis dan legal
@. Mengkomunikasikan informasi
@. Melakukan semua kegiatan tersebut secara efektif.
Dalam konteks manajemen pengetahuan, keterampilan informasi ini bisa dikemas dalam berbagai keterampilan :
Penciptaan Pengetahuan.
Untuk membantu penciptaan pengetahuan, perpustakaan bisa memperlengkapi para dosen dan mahasiswa dengan metodelogi penelitian: mulai dari mencari cara menemukan dan merumuskan masalah dengan tingkat orisinilitas yang tinggi beserta alasannya (teoritis, praktis dan/atau metodologis), membuat kerangka pemikiran yang dapat membantu peneliti melihat permasalahannya dengan jelas, membuat rancangan penelitian, mengumpulkan dan menganalisa data.
Perekaman dan Organisasi Pengetahuan
Yang dibutuhkan disini adalah keterampilan menulis, yaitu untuk menulis dengan jelas, logis, akurat, koherens; untuk mengutip dari berbagai sumber dan membuat daftar pustaka menurut berbagai standard; dan penggunaan berbagai software dan fasilitas didalamnya.
Penyebaran
Perpustakaan dalam hal ini bisa mengajarkan, antara lain, persyaratan publikasi kertas maupun elektronik, cara meng’upload’ file dan sebagainya. Keterampilan untuk melakukan presentasi lisan, menggunakan fasilitas komunikasi seperti e-mail, dan juga membantu peningkatan kemampuan untuk penyebaran pengetahuan.
Akses
Keahlian yang bisa diajarkan disini adalah tentang berbagai sumber informasi baik kelebihan maupun kekurangan, juga topik mengenai tahap-tahap mencari informasi menurut Kuhltau misalnya (initiation, selection, exploration, formulation, collection dan presentation) dan apa yang harus dilakukan disetiap tahap ini sehubungan dengan perbedaan kadar kebingungan dan kecemasan.
Pustakawan perlu menyadari bahwa pengguna informasi dapat dikelompokkan de dalam beberapa tingkat, dan keterampilan informasi diajarkan selain untuk meningkatkan peringkat pengguna, dan informasi yang sedikit atau banyak yang diperoleh mereka adalah informasi yang bermutu.
Pengguna Informasi
Keahlian yang bisa diajarkan disini adalah tentang berbagai sumber informasi, kelebihan dan kekurangannya, membaca kritis, membuat ringkasan dan lain sebagainya.
Strategi Meningkatkan Keterampilan Informasi
Keterampilan informasi yang bisa dilakukan dengan berbagai cara : Training on site, online maupun offline; terintegrasi maupun terlepas dari pembelajaran satu atau beberapa disiplin ilme. Yang terpenting perpustakaan harus berusaha memperjuangkan agar keterampilan informasi masuk dalam kurikulum.
Perspektif Pustakawan
Mencermati kondisi pustakawan dalam memberikan layanan perpustakaan dan infromasi melalui pengamatan dan berbagai diskusi, ada dua faktor sebagai alasan untuk mengatakan, bahwa citra pustakawan belumlah menggembirakan antara lain faktor internal dan faktor eksternal.
Ditinjau dari faktor internal antara lain (1) pustakawan masih berkutat pada pelayanan konvensional dengan menggunakan sistem layanan tradisional (2) masih rendahnya kualitas sumber daya manusia/pustakawan, baik dari kualitas teknis maupun kualitas fungsional. Dari segi kualitas teknis pustakawan banyak dijumpai pustakawan yang belum memiliki kemampuan teknis berkomunikasi, manajerial, penguasaaan teknologi informasi dan bahasa asing. Dari segi kualitas fungsional meliputi dimensi kontak dengan pemakai, sikap, perilaku, hubungan internal pustakawan (3) terbatasnya sarana penelusuran yang tersedia dalam bentuk abstrak, isi buku, teks penuh (fulltext) atau dalam bentuk review. Sedangkan masalah eksternal antara lain (1) Perpustakaan belum memiliki komitmen dalam mengembangkan pustakawan sehingga pemberdayaan perpustakaan diseluruh Indonesia mengalai kesulitan. (2) masih rendahnya jiwa kemandirian (entrepreneurship).
Mencermati perkembangan manajemen pustakawan dan kaitannya dengan kompetensi pustakawan menurut Hakrisyati Kamil (2005) bahwa pustakawan Indonesia pada umumnya memiliki keterbatasan antara lain : (1) kurang memiliki pengetahuan bisnis (2) pustakawan tidak memikili kemampuan untuk bergerak secara bersamaan dalam ruang lingkup informasi, organisasi dan sasaran organisasi (3) Kemampuan kerjasama sebagai dalam kelompok dan juga kepemimpinannya tidak memadai untuk posisi strategis dan (4) kurang memiliki kemampuan manajerial.
Dalam lingkungan organisasi perpustakaan manajemen pustakawan dilihat sebagai komunikasi ilmiah dan proses penyampaian informasi harus diberi nilai tambah dengan mengorganisasikan pengetahuan yang diciptakan dan dikemas diluar perpustakaan. Perpustakaan harus dijadikan penerbit pengetahuan bagi masyarakat pengguna. Pertama, pustakawan berperan sebagai fasilitator utama dalam berbagai pengetahuan, dengan menciptakan budaya dan memelihara infrastruktur yang diperlukan untuk mengoperasikan manajemen pengetahuan. Kedua, pustakawan berperan dalam mengambil manfaat dari konsep manajemen pengetahuan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja perpustakaan. Manajemen pengetahuan dapat dijadikan sebagai pemicu agar pustakawan lebih inovatif dan kreatif dalam menyiasati sakupan elektronik yang harus dicakup dalam konsep perpustakaan elektronik yang telah dikembangkannya selama ini. Masih banyak muatan pengetahuan eksplisit yang belum tersedia dalam bentuk elektronik yang sesungguhnya dibutuhkan oleh para pengguna perpustakaan.
Ketiga, pustakawan juga harus berupaya mengidentifikasi pengetahuan eksplisit dan mengembangkan sistem yang diperlukan untuk menanganinya dengan mengembangkan pengetahuan tak terstruktur (tacit) Keempat, pustakawan harus segera mengambil prakarsa untuk mengeksplorasi potensi informasi dan pengetahuan yang terdapat dilingkungannya masing-masing dan mengembangkan system untuk penanganannya, termasuk penyiapan sumber daya manusia, organisasi, infrastruktur teknologi informasi, dan infrastruktur hukum yang diperlukan untuk itu.
Solusi yang harus dipenuhi terhadap pustakawan dalam memberdayakanpengetahuan antara lain : Pertama, pustakawan harus dapat meningkatkan kemampuan dalam teknologi informasi yang memadai. Kedua, mengembangkan komunikasi ilmiah (science communication) bagi sesama pustakawan. Ketiga, menumbuhkan jiwa kewirausahaan (entreprenuership) dan core bisnis. Keempat, pustakawan diharapkan mampu meningkatkan kompetensi manajerial dan kepemimpinan berbasis informasi.
PENUTUP
Manajemen pengetahuan menjajikan suatu perubahan yang berfokus pada pengembangan dan penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas suatu organisasi. Manajemen pengetahuan menawarkan suatu peluang bagi profesional informasi dan perpustakaan untuk menjadikan diri mereka relevan terhadap tuntutan jaman. Walaupun masih banyak masalah di sekitar manajemen pengetahuan, tetapi konsep yang ditawarkannya dapat dijadikan sebagai titik tolak bagi pustakawan untuk lebih berperan secara substansial dalam menyediakan seluruh pelayanan informasi dan pengetahuan bagi pengguna perpustakaan. Pustakawan harus segera mengambil prakarsa untuk mengeksplorasi potensi informasi dan pengetahuan yang terdapat di lingkungannya masing-masing dan mengembangkan sistem untuk penanganannya, termasuk penyiapan sumber daya manusia, organisasi, infrastruktur teknologi informasi, dan infrastruktur hukum yang diperlukan.
Uraian KM dan information literacy tersebut mengisyaratkan bahwa peranan pustakawan perguruan tinggi harus berubah fokusnya dari sebagai penyedia akses ke fasilitator KM dan peningkatan information literacy para civitas academica. Sedapat mungkin, pekerjaan rutin dan teknis dipermudah dengan bantuan TKI
Pustakawan harus mempersenjatai diri dengan keahlian mengelola pengguna dalam jaringan, karena hanya dengan berkolaborasi maka perpustakaan dan pengguna mampu memegang kendali dalam menghadapi percepatan perkembangan pengetahuan. Pustakawan juga harus mempunyai kemampuan penulisan ilmiah serta mengajar dan member konsultasi di bidang KM dengan information literacy (misalnya: penelitian, membaca dan menulis kritis)

This entry was posted in Knowledge managemen. Bookmark the permalink.

One Response to Penerapan Knowledge Manajemen Di Perpustakaan Perguruan Tinggi