Farmer community empowerment of Local cattle at South Garut Coastal Through Introduction of Knowledge forward Animal Breeding Activity

Abstract
Cattle at South Garut coastal is local animal specify and it became a real income for
farmer community at South Garut. But, the fact on field condition describes that they do
not have a commitment to increase the animal genetic quality. On that apology,
researcher interested to study some social aspects. The aims of the research are to
recognize the attitude changing of the farmer community forward animal breeding
activity and to recognize some delay factors in that activity. The research was
conducted at Kelompok Peternak Sapi Pasir Pogor Pameungpeuk sub district, Garut
Regency, West Java since 15 March, 2009 to 16 August , 2009. There are two method
to doing this research, there are micro-qualitative (participatory rural appraisal) and
macro-quantitative (survey formality) toward 50 farmers as respondents. The result of
the research showed that there were not the attitude changing of farmer community
toward animal breeding activity, because the research result showed that cognition
aspects were 20% high knowledge, 50% moderate knowledge, 30% poor knowledge
and changed become 25 high knowledge, 45% moderate knowledge, 30% poor
knowledge, while that affection aspects were 30% agreed, 35% less agreed, 35% no
agreed and they increased became 35% agreed, 30% less agreed and 35% no
agreed. Sum of two variable is the attitude categorical, there were 20% supported,
50% moderate supported, 30% no supported and they increased become 25%
supported, 45% moderate supported and 30% no supported. Some factors delayed the
breeding activity are miss information or introducing of knowledge about animal
genetics improvement, exploration of crop carrying capacity, breeding management
poorly and its capitalism.
Key word : farmer community development, animal genetic improvement, attitude.

PENDAHULUAN
Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan
pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Berbagai tantangan
yang dihadapi dalam pengembangan plasma nutfah perlu dikaji agar di masa yang
akan datang tidak punah bahkan menjadi maenstrem agribisnis yang menguntungkan
bagi peternak kecil maupun besar. Suatu kajian dalam upaya menghadapinya adalah
melakukan upaya konservasi. Riwantoro (2005) menjelaskan bahwa konservasi adalah
semua bentuk kegiatan yang melibatkan tatalaksana pemanfaatan sumberdaya
genetik dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian saat ini dan
masa yang akan datang dengan mempertahankan keragaman genetik yang
dikandungnya.
Salah satu plasma nutfah yang perlu mendapat perhatian di Jawa Barat adalah
sapi lokal yang terdapat di pesisir pantai selatan. Sapi ini termasuk bangsa potong
dengan karakter kualitatif tidak berpunuk, pola warna putih dominan merah sedangkan
karakter fenotip kuantitatip yang dimiliki (performa) relatif jelek.
Sapi lokal yang terdapat di Garut Selatan selama ini dipelihara oleh peternak
pedesaan dengan pemeliharaan secara tradisional, tidak menggunakan sentuhan
teknologi baik pakan, kesehatan maupun sistem perkawinan. Dari sudut pemuliaan,
ternak-ternak dikawinkan secara alami di tempat penggembalaan sehingga peluang
terjadinya inbreeding cukup tinggi, tidak dilakukan rekording, disamping pola penjualan
ternak yang tidak diatur sehingga banyak ternak baik jantan maupun betina
dengan fenotip baik terjual (keluar dari populasi). Pola pemeliharaan semacam ini
dapat berakibat buruk secara genetis bagi kekayaan plasma nutfah Jawa Barat.
Dalam rangka mencapai cita-cita swa sembada daging nasional 2010, ternak
lokal pesisir Garut selatan sebagai plasma nutfah memegang peranan penting.
Peranan ini didasari atas keunggulan ternak lokal yang mampu hidup dalam
lingkungan ekstrim dibanding ternak impor, sehingga perlu ditingkatkan melalui
perbaikan mutu bibit secara terpadu. Tujuan dari peningkatan mutu bibit adalah
peningkatan populasi dan nilai tengah populasi (produktivitas). Oleh karena itu
pendekatan pemberdayaan peternak menjadi penting agar peternak dapat mandiri
dalam merencanakan, mengatur dan menentukan pola serta strategi pemuliaan ternak.
Pemberdayaan peternak merupakan sebuah metode pemberdayaan
masyarakat yang menurut Hikmat (2001) dan Suharto (2005) memungkinkan orang
atau masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar
pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya atau suatu
usaha dalam membantu orang biasa untuk meningkatkan lingkungannya dengan
melakukan aksi kolektif dalam bidang ekonomi, penguatan social atau pengembangan
sector non profit.
Definisi pemberdayaan masyarakat yang lainnya ialah sebuah terminologi yang
bersifat luas pada tataran praktek dan diaplikasikan oleh para praktisi dan akademisi,
pemimpin sipil, aktivis, pembangun peradaban, para profesional, demi satu tujuan
untuk melakukan penguatan aspek lokal yang dimiliki oleh masyarakat tersebut
dengan penggalian potensi yang ada secara mandiri (Community Development,
Wikipedia, diakses 27 September 2009).
Kegiatan pemberdayaan peternak dimaksud adalah upaya mengubah
kesadaran, memperkuat keinginan dan perlakuan masyarakat peternak sebagai obyek
atau pelaku yang berperan dalam peningkatan mutu genetik ternak sapi lokal agar
diperoleh bibit yang baik secara mandiri. Perubahan sikap peternak yang mendukung
kegiatan pemuliaan ternak dapat mempengaruhi keberhasilan kegiatan peningkatan
mutu genetik secara berkelanjuan, dengan mengetahui perubahan sikap peternak
akan diketahui faktor-faktor kendala dalam pelaksanaan kegiatan pemuliaan ternak di
lapangan.
Di Garut Selatan terdapat kelompok peternak sapi Pasir Pogor yang
memelihara sapi lokal pesisir Jawa Barat dengan jumlah populasi cukup tinggi yaitu
740 ekor, jumlah anggota kelompok 72 anggota tersebar di tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Sanang, Pameungpeuk dan Cikelet. Populasi ternak dikumpulkan dalam
satu kawasan tanah Negara seluas 10 hektar. Eksistensi kelompok yang tinggi
tersebut belum diimbangi dengan penyuluhan yang intensif dari dinas terkait sehingga
tidak tersentuh berbagai informasi menyangkut teknologi pembibitan, pakan dan tata
laksana pemeliharaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut menarik dilakukan penelitian pemberdayaan
peternak sapi pesisir Garut Selatan melalui introduksi pengetahuan di
Kelompok Peternak Sapi Pasir Pogor Kabupaten Garut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan sikap peternak dalam mendukung kegiatan peningkatan mutu
genetik secara dan faktor-faktor kendala dalam pelaksanaan kegiatan peningkatan
mutu genetik di lapangan.
METODE PENELITIAN
Subyek dalam penelitian ini adalah 50 anggota kelompok peternak sapi Pasir
Pogor yang berasal dari 3 kecamatan yaitu kecamatan Sancang, Pameungpeuk dan
Cikelet kabupaten Garut Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah mikro kualitatif menggunakan PRA (participatory rural appraisal) dan Makro
kuantitatif menggunakan metode survey formal pada anggota kelompok Peternak Sapi
Pasir Pogor sebanyak 50 responden.
PRA (participatory rural appraisal) didasarkan pada kenyataan bahwa
masyarakat peternak sapi lokal pesisir Garut Selatan memiliki beberapa kendala dalam
pemeliharaan, antara lain kurangnya daya dukung lahan untuk pakan pada musim
kering, produktivitas ternak seperti penampilan lahir, penampilan dewasa semakin
mengecil dan sering terjadi kasus keguguran Kondisi ini berpengaruh terhadap
pendapatan atau kesejahteraan peternak. Akan tetapi masyarakat tidak memiliki
kemampuan dalam merencanakan, menyusun kebijakan real dalam mengatasi
masalah tersebut di lapangan.
Berdasarkan ilustrasi di atas maka perlu dilakukan upaya pemberdayaan
melalui partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan (motivasi positip).
Pemberdayaan adalah suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat
kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan yang berlangsung secara
dinamis sehingga masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta
dapat mengambil keputusan secara bebas dan mandiri (Gitosaputro, 2006).
PRA (participatory rural appraisal) merupakan metode yang memungkinkan
masyarakat desa saling berbagi, menambah dan menganalisis pengetahuan tentang
kondisi kehidupannya dalam rangka untuk membuat perencanaan dan tindakan.
Prinsip dasar dalam PRA antara lain mengutamakan yang terabaikan, Penguatan
masyarakat, Masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator, Saling Berlajar
dan Menghargai Perbedaan, Santai dan informal, Trianggulasi, Optimalisasi Hasil,
Orientasi praktis, Keberlanjutan, Belajar dari kesalahan dan Terbuka (Andrian, 2008).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. sesi partisipasi aktif yaitu pendekatan pelatihan dan kunjungan
2. partisipasi atas permintaan setempat, pendekatan yang didorong oleh permintaan
dan kegiatan penelitian dengan metode motivasi dan animasi untuk mendorong
masyarakat tertarik pada suatu yang baru dan berbeda menurut Gitosaputro
(2006).
Metode penelitian makro kuantitatif menggunakan metode survey formal pada
anggota kelompok Peternak Sapi Pasir Pogor sebanyak 50 responden untuk diambil
data primer. Data sekunder diperoleh dari monografi kecamatan, laporan tahunan
kecamatan dan sumber lain. Variabel yang diamati yaitu sikap peternak yang terdiri
dari :
1. Pengetahuan (kognisi), antara lain pengetahuan tentang pemahaman peningkatan
mutu genetik untuk meningkatkan kualitas bibit, pengetahuan mengenai
peningkatan mutu genetik ternak dan pengetahuan mengenai kegiatan pemuliaan
ternak, sistem perkawinan dan seleksi.
Pengetahuan ketiga variabel tersebut dibuat dalam katagori pengetahuan tingi
dengan skor 3, pengetahuan cukup dengan skor 2 dan pengetahuan rendah
dengan skor 1.
2. Tanggapan (afeksi), antara lain tanggapan peternak mengenai inbreeding dan out
breeding, tanggapan peternak dari tujuan peningkatan mutu genetik ternak, dan
tanggapan peternak mengenai pentingnya peningkatan mutu bibit.
Tanggapan ketiga variabel tersebut dibuat dalam katagori setuju dengan skor 3,
kurang setuju dengan skor 2 dan tidak setuju dengan skor 1.
Penentuan katagori sikap peternak secara keseluruhan dengan menjumlahkan
skor variabel pengetahuan dan skor variabel tanggapan, hasilnya menggambarkan
sikap peternak terhadap kegiatan peningatan mutu genetik ternak sapi lokal pesisir
Garut Selatan yang dikatagori menjadi tiga yaitu mendukung, belum mendukung dan
tidak mendukung. . Nasution (1993) menyatakan bahwa skala tipe Likert mempunyai
reliabilitas tinggi dalam mengurutkan manusia berdasarkan intensitas sikap tertentu.
Skor untuk tiap pernyataan juga mengukur intensitas sikap responden terhadap
pernyataan itu. hasil perhitungan didapat beberapa katagori sebagai berikut ;
1. sikap peternak (mendukung 65.5-84.5, belum mendukung 46.5-65.4, tidak
mendukung 27.5-46.4)
2. pengetahuan peternak (tinggi 35.5-45.5, cukup 25.4-35.4, rendah 15.2-25.3)
3. tanggapan peternak (setuju 30.5-39.5, kurang setuju 21.4-30.4, tidak setuju 12.3-
21.3).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemetaan Sosial di Garut Selatan
Kelompok peternak Sapi Pasir Pogor beranggotakan 72 anggota tersebar di
tiga kecamatan, yakni kecamatan Pameungpeuk, Cibalong dan Cikelet. Kantor pusat
dan kawasan pemeliharaan berada di desa Mancagahar kecamatan pameungpeuk
kabupaten Garut. Melalui kajian berbasis kawasan maka pemetaan wilayah difokuskan
pada kecamatan ini. Hal ini disebabkan kawasan peternakan seluas 10 hektar milik
negara bisa diakses oleh seluruh peternak di tiga kecamatan tersebut.
Deskripsi hasil pemetaan wilayah menunjukkan bahwa kecamatan
Pameungpeuk yang notabene sejajar secara geografis dengan kecamatan Cikelet dan
Cibalong memiliki jarak yang cukup jauh ke Ibu Kota Garut yaitu 86 km, dengan
topografi dataran rendah dengan ketinggian 1-500 meter di atas permukaan laut
dengan kemiringan lahan 0-40%, suhu udara 27-35 derajat celcius dan rata-rata curah
hujan 1.321 mm. Luas wilayah 4411 ha terbagi dalam lahan perkebunan kelapa 404
Ha, sayuran 50 ha, 2000 ha persawahan dan sisanya perumahan (laporan Tahunan
Kecamatan Pameungpeuk 2008).
Dari deskripsi wilayah tersebut menggambarkan bahwa wilayah kecamatan
Pameungpeuk cukup potensial untuk dikembangkan peternakan berintegrasi pertanian
dan perkebunan.
Hasil pemetaan demografi bahwa jumlah penduduk 41.387 jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk 9902 jiwa, kepadatan penduduk 831 per km² terdistribusi
dalam mata pencaharian agrobisnis 90 %, nelatan 8%, dan pedagang2% (Laporan
tahunan Kecamatan Pameungpeuk, 2008). Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi
masyarakat petani di wilayah ini layak dikembangkan sebagai basis perekonomian
masyarakat. Namun hal ini tidak diimbangi dengan rendahnya sarana perangkat keras
dan lunaknya, seperti penyuluhan berkala, pembangunan sumber air yang memadai
dan berbagai program pemberdayaan petani yang lain.
Kondisi di atas dapat dilihat dari aspek pemetaan ekonomi yang menunjukkan
sebagian besar masyarakat kecamatan Pameungpeuk hidup di bawah garis
kemiskinan yaitu 60 % berpenghasilan antara 200 ribu – 500 ribu rupiah perbulan,
padahal rata-rata pengeluaran perbulan 500 ribu – 1 juta rupiah.
Pemetaan Sosial di Kelompok Peternak Sapi Pasir Pogor
Kelompok peternak sapi Pasir Pogor berdiri sejak tahun 1993 dengan jumlah
anggota berkembang menjadi 72 orang, Sebelumnya merupakan kelompok peternak
kerbau dengan jumlah anggota yang sedikit (15 anggota), berlokasi di sebelah utara
lokawisata Pantai Sayang Heulang desa Mancagahar Kecamatan Pameungpeuk
kabupaten Garut dengan jarak dari lokasi ke ibu kota kecamatan 4 km. Luas areal
peternakan 10 hektar yang digunakan untuk kandang dengan topografi dataran
rendah dengan ketinggian 15 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan lahan
15%, suhu udara 27-35 derajat celcius dan rata-rata curah hujan 1.321 mm. Jumlah
kandang 53 buah dengan luas tiap kandang 100 m². Areal ini tidak dilengkapi dengan
padang penggembalaan dan sumber air. Kondisi tersebut menggambarkan belum
tereksplorasi dengan baik potensi lahan yang dimiliki pada kawasan.
Hasil pemetaan demografi bahwa jumlah anggota 72 orang, setiap anggota
merupakan kepala keluarga di rumah tangga peternak masing-masing. Beternak sapi
lokal pesisir Garut Selatan merupakan mata pencaharian yang sebagian besar
menjadi usaha pokok 80 %, dan usaha sambilan 20%, . Tingkat kepemilikan ternak 55
% memiliki 10-15 ekor, 25% memiliki 6-9 ekor dan 20 % di bawah 5 ekor. Kondisi ini
menunjukkan bahwa potensi masyarakat peternak di wilayah ini layak dikembangkan
sebagai basis perekonomian masyarakat. Namun hal ini tidak diimbangi dengan
rendahnya sarana perangkat keras dan lunaknya, seperti penyuluhan berkala,
pembangunan sumber air yang memadai dan bantuan skim permodalan dari luar.
Peternak di kelompok ini memiliki tingkat pendidikan Magister 1 %, SMA/ SMK/
MA 11 %, SLTP 20 %, SD 30%, dan 40 % tidak tamat SD dengan pengalaman beternak
kurang dari 10 tahun 10%, antara 10-20 tahun 60%, lebih dari 20 tahun 30%.
Umur peternak tergolong usia produktif yaitu antara 20 – 60 tahun (Patmonodewo,
2001). Di masyarakat Garut Selatan peternak sapi lokal memiliki status social yang
tinggi. Hal ini dilihat dari tingkat investasi yang dimiliki antara 15 juta sampai 100 juta
rupiah per tahun dengan penghasilan yang cukup tinggi 16 juta sampai 120 juta rupiah
pertahun, sehingga tingkat ekonomi, pendidikan anak dan kesehatan cukup terjamin.
Introduksi Pengetahuan Dalam Kegiatan Peningkatan Mutu Genetik Ternak
Metode Participatory Rural Appraisal merupakan metode mikro kualitatif
dengan melandaskan prinsip-prinsip mengutamakan yang terabaikan, Penguatan
masyarakat, Masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator, Saling Berlajar
dan Menghargai Perbedaan, Santai dan informal, Trianggulasi, Optimalisasi Hasil,
Orientasi praktis, Keberlanjutan, Belajar dari kesalahan dan Terbuka (Gitosaputro,
2006).
Hasil observasi menunjukkan kondisi obyektif di kelompok peternak Sapi Pasir
Pogor Kecamatan Pameungpeuk sebagai berikut ;
1. Aspek Manajemen Pemeliharaan yaitu tidak memperhitungkan kualitas dan
kuantitas pakan, tidak ada sumber air untuk minum, tidak ada control dan
pengobatan penyakit, tidak ada sarana perkandangan yang memadai (kapasitas
tampung dan peralatan kandang), tidak ada eksplorasi daya dukung lahan
penghasil limbah pertanian,
2. Aspek Pengetahuan yaitu tidak ada penyuluhan berkala di kelompok oleh dinas
terkait, tidak ada program pemberdayaan peternak baik dari kelompok maupun dari
luar kelompok,
3. Aspek Genetis yaitu kenyataan dari generasi ke generasi performa ternak terjadi
penurunan, tidak ada kartu recording untuk data kelahiran, sapih maupun produksi,
tidak ada pengaturan perkawinan, tidak ada seleksi untuk memilih bibit yang baik.
Atas dasar ilustrasi di atas maka dilakukan penelitian pemberdayaan dengan pendekatan
sesi partisipasi aktif yaitu pendekatan pelatihan dan kunjungan, partisipasi
atas permintaan setempat yaitu pendekatan yang didororng oleh permintaan dan
kegiatan penelitian dengan metode motivasi dan animasi untuk mendorong
masyarakat tertarik pada suatu yang baru dan berbeda menurut Gitosaputro (2006).
Sebelum dilakukan introduksi pengetahuan, sejumlah 50 peternak diambil
sebagai responden untuk dieksplorasi pengetahuannya tentang kegiatan peningkatan
mutu genetik ternak.

Pendekatan pelatihan dilakukan melalui penyuluhan formal dengan materi optimalisasi
sapi lokal pesisir Garut Selatan melalui peningkatan mutu bibit terpadu sebanyak 2 kali

Peningkatan Mutu Bibit Terpadu
Hasil kegiatan partisipatif diteliti kuantifikasinya untuk diketahui perubahan
sikap peternak dalam meningkatkan mutu genetik ternak. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sikap peternak terhadap kegiatan peningkatan mutu genetik ternak pada
umumnya belum mendukung baik sebelum maupun sesudah dilakukan introduksi
pengetahuan.
Hal ini ditunjukkan dengan data kognisi peternak terhadap kegiatan
peningkatan mutu genetik 20% pengetahuan tinggi, 50% pengetahuan cukup dan 30%
pengetahuan rendah dan meningkat menjadi 25% pengetahuan tinggi, 45%
pengetahuan cukup dan 30% pengetahuan rendah. Aspek yang diteliti dalam
pengetahuan peternak antara lain pemahaman peningkatan mutu genetik ternak untuk
mendapatkan bibit ternak, pengetahuan peternak mengenai tujuan pembibitan ternak
dan mengenai kegiatan pembibitan ternak sapi lokal.
Data afeksi peternak terhadap kegiatan peningkatan mutu genetik ternak 30%
setuju, 35% kurang setuju dan 35% tidak setuju dan meningkat menjadi 35% setuju,
30% kurang setuju dan 35% tidak setuju. Aspek yang diteliti dalam tanggapan
peternak terhadap peningkatan mutu genetik ternak antara lain perkawinan inbreeding
dan outbreeding, tujuan dan pentingnya kegiatan pembibitan terna.
Sikap peternak terhadap kegiatan peningkatan mutu genetik ternak dapat
diketahui dari kognisi dan afeksinya yaitu dengan menjumlahkan skor keduanya. Data
penjumlahan katagori sikap dari penjumlahan skor tiap vareabel 20% mendukung, 50%
belum mendukung dan 30% tidak mendukung dan meningkat menjadi 25%
mendukung, 45% belum mendukung dan 30% tidak mendukung.
Hasil analisa di atas dilakukan pengamatan secara mendalam dan informal,
didapat beberapa alasan mendasar kegiatan peningkatan mutu genetik ternak sapi
lokal belum mendukung, yaitu ;
1. kegiatan pemeliharaan dan sistem perkawinan yang selama ini dilakukan dirasa
masih aman dalam memberikan kontribusi pendapatan peternak,
2. kemandirian dalam kegiatan peningkatan mutu genetik perlu mendapat
pengawasan dari fasilitator, sampai saat ini belum dilakukan pengawasan terhadap
keluar masuknya ternak dari populasi,
3. kegiatan peningkatan mutu genetik membutuhkan dana yang relative besar
sementara pengaruhnya secara langsung terhadap penigkatan pendapatan belum
teridentifikasi,
4. Sarana dan prasarana areal peternakan belum optimal sehingga factor lingkungan
sulit untuk dioptimalisasikan. Padahal dalam kegiatan pemuliaan ternak harus
diupayakan lingkungan sebaik mungkin dengan variasi yang sekecil mungkin.
Ilustrasi di atas dapat digambarkan beberapa factor yang menjadi kendala
dalam kegiatan peningkatan mutu genetik antara lain kurangnya informasi atau
pengetahuan tentang bibit dan eksplorasi daya dukung lahan pertanian, pemeliharaan
yang tidak intensif dan permodalan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
setelah mendapatkan introduksi pengetahuan belum terjadi perubahan sikap peternak
terhadap peningkatan mutu genetik ternak. Beberapa hambatan dalam pemberdayaan
peternak sapi pesisir garut selatan melalui introduksi pengetahuan dalam kegiatan
peningkatan mutu genetik ternak lain kurangnya informasi atau pengetahuan tentang
bibit dan eksplorasi daya dukung lahan pertanian, pemeliharaan yang tidak intensif dan
permodalan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa introduksi pengetahuan
terhadap peternak belum berhasil.
SARAN
Konservasi sapi lokal pesisir Garut Selatan sebagai plasma nutfah perlu
dikembangkan sehingga dapat menjadi maenstrem agribisnis yang menguntungkan
bagi masyarakat peternak. Dalam rangka optimalisasi potensi tersebut, maka
pemberdayaan masyarakat peternak perlu ditingkatkan dengan penyuluhan yang
intensif, bantuan sarana dan prasarana perkandangan dan permodalan dari berbagai
pihak.

This entry was posted in Knowledge managemen. Bookmark the permalink.

5 Responses to Farmer community empowerment of Local cattle at South Garut Coastal Through Introduction of Knowledge forward Animal Breeding Activity